Selasa, 30 Oktober 2012

Membangun Kewirausahaan Sosial:
Meruntuhkan dan Menciptakan Sistem Secara Kreatif.
Dr. V. Winartoi
Makalah untuk Seminar:
Membangun Kewirausahaan Sosial: “Meruntuhkan dan Menciptakan Sistem”
secara Kreatif?
Academy Professorship Indonesia bidang Ilmu Sosial-Humaniora dan Sekolah
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogjakarta, 22 Februari 2008.
Pendahuluan
Kegiatan yang dimaksudkan untuk mengatasi pelbagai masalah sosial merupakan
aktivitas yang sudah lama bertumbuh kembang. Pelbagai organisasi didirikan untuk
nenampung secara efektif dan efisien kegiatan tersebut, di antaranya dengan
mengadopsi ilmu manajemen yang dikembangkan oleh dunia bisnis. Bentuk
organisasi sosial yang sering kita temui di Indonesia adalah yayasan. Ada yayasan
yang berhasil dengan baik menjalankan misinya, dan ada yang kurang berhasil.
Salah satu faktor yang membantu yayasan dapat dengan teratur, adil, dan pasti
dalam kegiatannya adalah tingkat adopsi manajemen untuk kegiatannya.
Manajemen organisasi sosial tidak berbeda dari manajemen organisasi bisnis,
kecuali pada visi dan misinya, yaitu bercirikan kepentingan sosial.
Perubahan terjadi di dunia bisnis dalam hal menjawab tantangan baru sehubungan
dengan perubahan makro yang harus dihadapi. Pengamat bisnis dan manajemen
di pelbagai negara maju menyimpulkan bahwa manajemen yang dikembangkan
sehubungan dengan datangnya era industrialisasi akhir abad ke-19 dan awal abad
ke-20, sudah tidak dapat menjawab lagi tuntutan jaman dengan perubahan yang
kini terjadi. Seorang ahli manajemen, Peter Drucker dalam bukunya Innovation and
Entrepreneurship (1985)ii, berdasarkan pengamatannya di Amerika, menyimpulkan
bahwa telah terjadi pergeseran yang tidak dapat dielakkan dari masa ekonomiberdasarkan-
manajemen ke ekonomi –berdasarkan-kewirausahaan. Misalnya,
dalam hal penyediaan lapangan kerja—pencipta lapangan kerja yang lama yaitu
organisasi besar—bahkan mengurangi tenaga kerjanya, sedangkan organisasi baru
berskala kecil dan menengah—yang diwarnai oleh kewirausahaan dari pendiri dan
pemimpinnya— menjadi penyedia lapangan kerja baru.
Perhatian dan upaya mengembangkan wirausaha dan kewirausahaan makin
meningkat. Hal ini ditandai oleh meningkatnya penelitian dan jumlah insitusi
pendidikan yang menawarkan program kewirausahaan. Pusat pengembangan
kewirausahaan semakin bertambah jumlahnya. Salah satu yang sudah cukup lama
dan terkenal menjadi pusat pengembangan kewirausahaan adalah Babson
College di Amerika. Pusat pengembangan kewirausahaannya didirikan pada tahun
1
1978. Saat ini, pusat pengembangan itu dikenal sebagai Arthur Blank Center for
Entrepreneurship yang diresmikan namanya tahun 1998.iii
Apa yang terjadi dalam aspek transfer ilmu manajemen dari organisasi bisnis ke
organisasi sosial, dirasakan juga pada bidang kewirausahaan. Penghargaan
tahunan kepada wirausaha bisnis “unggul” diadakan oleh banyak institusi, di
antaranya yang dilakukan oleh Ernst and Young, sebuah perusahaan konsultan.
Ernst and Young telah menambah jenis penghargaan yang diberikannya dengan
menobatkan wirausaha sosial sebagai salah satu kategori penghargaan. Di
Indonesia, penghargaan pada wirausaha sosial itu dimulai dua tahun lalu.
Salah satu tanda pengakuan yang sangat luar biasa pada wirausaha sosial ialah
terpilihnya Mohammad Yunus, pionir sistem kredit mikro yang ditujukan kepada para
wanita pengusaha skala mikro,sebagai penerima hadiah Nobel perdamaian tahun
2006 lalu. Sejumlah organisasi telah berusaha membangun kewirausahaan sosial
dalam skala dunia, misalnya Ashoka Fellows. Pendapat, hasil penelitian, dan kasus
yang telah direkam pun mulai bertambah banyak dan dapat menjadi acuan untuk
membangun kewirausahaan sosial. Inilah suatu bidang yang sangat diperlukan,
namun masih dalam tahap awal pengembangannya. Mengingat banyaknya
masalah sosial, sebagai akibat dari ketimpangan pembangunan ekonomi dan
keterbatasan kemampuan pemerintah mengatasi masalah sosial, merupakan
tantangan yang sangat nyata bagi dunia akademi, praktisi dan rohaniwan untuk
meningkatkan keterlibatan dalam mencari jalan keluar masalah sosial yang terjadi
di sekitar kita.
Evolusi Pengertian Kewirausahaan
Cukup banyak tulisan yang mengemukakan adanya upaya yang sudah cukup
lama untuk memahami fenomena kewirausahaan. Siapa dan apa yang dilakukan
secara khusus oleh wirausaha telah mulai dirumuskan sejak tahun 1730 oleh Richard
Cantillon.iv Namun, hingga saat ini upaya tersebut masih berlangsung, karena
kegiatan yang bercirikan kewirausahaan tidak hanya terbatas dalam bidang bisnis
dengan tujuan mencari laba. Yang membuat kewirausahaan menjadi menarik
banyak pihak untuk memahaminya ialah kontribusi istimewa yang dihadirkan oleh
mereka yang melakukan tindakan berkewirausahaan. Misalnya, Timmons dan
Spinelliv membuat pengelompokan yang diperlukan untuk tindakan
kewirausahaan dalam enam (6) hal, yakni:
1. Komitmen dan determinasi.
2. Kepemimpinan.
3. Obsesi pada peluang.
4. Toleransi pada risiko, ambiguitas, dan ketidakpastian.
5. Kreativitas, keandalan, dan daya beradaptasi.
2
6. Motivasi untuk unggul.
Dari banyak kasus yang menggambarkan perilaku para wirausaha sosial, misalnya
para penerima Ashoka Fellows, dapat disimpulkan bahwa keenam hal tersebut di
atas dapat diadopsi sebagai karakteristik perilaku dan sikap wirausaha sosial.
Dengan demikian, pengertian kewirausahaan cenderung menjadi makin luas, tidak
terbatas hanya pada wirausaha bisnis.
Luasnya cakupan kewirausahaan menggugah kemungkinan untuk membuat
tipologi wirausaha vi. Tidak semua wirausaha bisnis sama tingkat kewirausahaannya.
Ada yang melakukan tindakan membuat usaha baru sebagai alternatif mengganti
jalur sebagai karyawan. Tindakan itu bertujuan mencapai keberhasilan untuk
bertahan hidup tanpa berada dalam organisasi yang dimiliki dan/atau dipimpin
orang lain. Di lain pihak, terdapat tingkat kompleksitas yang ekstrim dalam
berwirausaha, yakni melakukan tindakan kewirausahaan dengan tujuan
menghasilkan karya yang dapat mengubah dunia. Misalnya, Steve Job berobsesi
menghasilkan komputer yang mudah dipakai oleh banyak orang (personal
computer), tidak hanya oleh ahli komputer. Di awal jaman bahasa komputer,
penggunaan komputer hanya dikuasai oleh sejumlah ahli yang khusus mempelajari
bahasa komputer tersebut. Gagasan Steve Job ditolak oleh perusahaan tempatnya
bekerja. Ia memutuskan untuk keluar dan bersama temannya, Steve Wozniak,
mendirikan perusahaan baru yang terkenal: Apple Computer.
Adanya pemahaman tentang heterogenitas wirausaha mengakibatkan perluasan
bidang penelitian. Misalnya, kewirausahaan yang dikembangkan oleh mereka
yang memanfaatkan teknologi tinggi/canggih akan menjadi bidang
pengembangan “technopreneur”. Munculnya cabang baru dalam kewirausahaan
tidak dapat dihindari. Adanya organisasi besar dan mapan yang membutuhkan
kelincahan dalam berinovasi dan berubah, telah menumbuhkan jenis wirausaha di
dalam perusahaan. Jenis wirausaha di dalam perusahaan disebut “intrapreneur”
yang merupakan kependekan “intra corporate entrepreneur”. Salah satu bidang
kewirausahaan baru yang juga menarik untuk diteliti dan dikembangkan adalah
wirausaha sosial, yang dikenal pula dengan sebutan “sociopreneur”.
Kewirausahaan Sosial
Sebagai bidang yang relatif baru berkembang, akan terdapat sejumlah pendapat
yang tidak seragam tentang apa itu kewirausahaan sosial dan siapa yang disebut
sebagai wirausaha sosial. Pendapat atau rumusan yang ada cenderung
menggambarkan suatu jenis wirausaha sosial yang unggul beserta karakteristik
peran dan kegiatannya. Berdasarkan temuan adanya pelbagai jenis wirausaha
bisnis, sangat dimungkinkan pula adanya sejumlah jenis wirausaha sosial. Pada fase
ini akan ditelusuri sejumlah rumusan kewirausahaan sosial yang telah didefinsikan
oleh organisasi dan ahli yang menggumuli bidang ini. Misalnya, Ashoka Fellows,
yang didirikan oleh Bill Drayton tahun 1980, menyebutkan karakteristik kegiatan
wirausaha sosial sebagai berikut:
3
1. Tugas wirausaha sosial ialah mengenali adanya kemacetan atau
kemandegan dalam kehidupan masyarakat dan menyediakan jalan keluar
dari kemacetan atau kemandegan itu. Ia menemukan apa yang tidak
berfungsi, memecahkan masalah dengan mengubah sistemnya,
menyebarluaskan pemecahannya, dan meyakinkan seluruh masyarakat
untuk berani melakukan perubahan.
2. Wirausaha sosial tidak puas hanya memberi “ikan” atau mengajarkan cara
“memancing ikan”. Ia tidak akan diam hingga “industri perikanan” pun
berubah.
Kasus bagaimana Mohammad Yunus mengembangkan bank untuk melayani kaum
miskin merupakan suatu inovasi yang bertentangan dengan kaidah yang umumnya
menjadi target pasar bank, yaitu mereka yang mampu dan berisiko kecil.
Kemacetan akses pada dana yang dihadapi oleh kaum miskin telah dipecahkan
dengan penyediaan sistem kredit mikro yang ditujukan kepada mereka dalam pola
kelompok.
Suatu terobosan atas kebuntuan hidup berdampingan antara etnis Cina dengan
etnis setempat di Medan, telah dilakukan oleh Sofyan Tan, seorang lulusan sekolah
dokter, dengan mendirikan sekolah di daerah miskin. Sekolah yang muridnya
campuran antaretnis tersebut, khususnya dari kalangan miskin, merupakan hal yang
baru. Menurut Sofyan Tan, penduduk miskin lebih sulit berintegrasi dengan etnis lain
dibandingkan dengan penduduk yang berpendidikan tinggi. Wajarlah bila semula
ada yang meragukan kualitas sekolah tersebut. Dengan sistem orang tua asuh asal
dari etnis lain, sekolah tersebut telah menghasilkan lulusan yang mampu masuk ke
perguruan tinggi negeri yang menjadi kebanggaan sekolah berpredikat sekolah
unggulan.
Di website Ashoka Fellow, organisasi ini menyajikan informasi bahwa jumlah
anggotanya mencapai 1.800 orang di 60 negara. Sofyan Tan adalah salah satu
penerima Ashoka Fellow. Salah satu misi yang diembannya adalah
mengembangkan profesi kewirausahaan sosial di dunia. Cara yang dilakukannya
ialah mengidentifikasi wirausaha sosial yang menonjol, menyediakan dana untuk
mendukung orangnya, idenya, dan institusinya. Bidang garap kegiatan sosialnya
meliputi: pendidikan, lingkungan, kesehatan, hak asasi manusia, partisipasi
masyarakat, dan pembangunan ekonomi.
Gregory Dees, seorang professor di Stanford University dan pakar di bidang
kewirausahaan sosial menyatakan bahwa kewirausahaan sosial merupakan
kombinasi dari semangat besar dalam misi sosial dengan disiplin, inovasi, dan
keteguhan seperti yang lazim berlaku di dunia bisnis. Kegiatan kewirausahaan sosial
dapat meliputi kegiatan: a) yang tidak bertujuan mencari laba, b) melakukan bisnis
untuk tujuan sosial, dan c) campuran dari kedua tujuan itu, yakni tidak untuk
mencari laba, dan mencari laba, namun untuk tujuan sosial.
4
Hal yang mirip dengan pendapat Dees di atas ditemukan pula dalam pengertian
kewirausahaan sosial yang dirumuskan oleh Yayasan Schwab, sebuah yayasan
yang bergerak dalam upaya mendorong kegiatan kewirausahaan sosial. Dalam
websitenya dijelaskan, wirausaha sosial menciptakan dan memimpin organisasi ,
untuk menghasilkan laba ataupun tidak, yang ditujukan sebagai katalisator
perubahan sosial dalam tataran sistem melalui gagasan baru, produk, jasa,
metodologi, dan perubahan sikap. Wirausaha sosial menciptakan organisasi
campuran (hybrid) yang menggunakan metode-metode bisnis, namun hasil
akhirnya adalah penciptaan nilai sosial. Untuk pembahasan yang cukup mendalam
silakan disimak karangan Roger Martin dan Sally Osberg, Social Entrepreneurship:
The Case for Definition, di Stanford Social Innovation Review, Spring 2007.
Dibandingkan kewirausahaan bisnis, kewirausahaan sosial relatif lebih baru dalam
perkembangannya. Dengan gencarnya kegiatan pengembangan kewirausahaan
di dunia pendidikan yang semula memfokus pada tingkat peguruan tinggi untuk
menyiapkan lulusannya mampu berwirausaha dan tidak menganggur, tetapi kini
bahkan mencakup dunia pendidikan yang lebih dini, citra kewirausahaan bisnis
jauh lebih menonjol alih-alih wirausaha sosial. Pengembangan kewirausahaan
sebagai disiplin ilmu, oleh Philip Wickhamvii, dianalogikan sebagai tahapan
“remaja”. Jika demikian, cabang kewirausahaan sosial dapat ditempatkan pada
fase yang lebih dini, yakni pada tahapan “bayi”.
Pengembangan Kompetensi Kewirausahaan Sosial.
Cabang kewirausahaan sosial berinduk pada bidang yang lebih luas, yaitu
kewirausahaan. Kewirausahaan dikembangkan dengan menggunakan data
empiris dari dunia bisnis. Sejumlah upaya pengembangan wirausaha bisnis dapat
menjadi acuan untuk pengembangan wirausaha sosial. Lihat Gambar 1 tentang
model yang dapat dipertimbangkan untuk pengembangan kompetensi
kewirausahaan.
5
Gambar 1:
D r. V. W inarto 19
Sumber Pembelajaran Wirausaha
Kom petensi
A ktif m encoba
(Pengalam an)
Belajar dari pihak
lain (jejaring)
Belajar dari
sum ber form al
Pendidikan dan
latihan
Perpustakaan dan
m edia lain /
internet
Bereksperim en
Refleksi
keberhasilan dan
kegagalan
Sesam a w irausaha
A hli
Kom unitas
konsum en dan
pem asok
Tokoh dan
Pesaing
Sebagaimana telah diyakini oleh para ahli di bidang pengembangan
kewirausahaan, untuk terciptanya wirausaha yang profesional, akan lebih cepat
dan baik bila tidak diserahkan hanya pada satu jalur pengembangan, yaitu pada
bakat saja. Ketiga sumber pembalajaran di atas: aktif mencoba, belajar dari
jejaring sosial, dan belajar dari sumber formal, dapat dimanfaatkan. Kasus
pengembangan kewirausahaan sosial oleh Kelompok Tani Wanita Menur di Desa
Wareng, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogjakarta, yang telah direkam dalam film
dokumenter, dapat menjadi sumber inspirasi. Adanya partisipasi perusahaan
melalui program tanggung jawab sosial mereka akan mempercepat pemecahan
masalah sosial yang saat ini mengalami kemacetan atau kemandegan. Tulisan C.K.
Prahalad, seorang akademisi di The University of Michigan Business School, dalam
bukunya: “The Fortune at The Bottom of The Pyramid” dapat menjadi sumber
inspirasi tentang cara perusahaan dan perguruan tinggi berpartisipasi dalam
pemecahan masalah sosial. Prahalad menulis , bila kita berhenti berpikir bahwa
kaum miskin adalah korban atau beban, dan mulai menganggap mereka sebagai
wirausaha yang ulet dan kreatif, peluang besar yang baru akan terbukaviii.
Sejauh penulis ketahui perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan di
bidang kewirausahaan sosial adalah Asian Institute of Management (AIM), Manila,
Filipina, dalam program Master in Development Management. Peguruan Tinggi AIM
di Manila ini unggul dalam menghasilkan kasus untuk pendidikan dan pelatihan, di
samping menghasilkan model pengembangan suatu masyarakat atau daerah.
Bagaimana dengan perguruan tinggi di Indonesia? Kontribusi dunia pendidikan
sangat dinantikan dalam pelbagai bentuk, mengingat bidang kewirasusahaan
sosial masih dalam taraf “bayi”. Misalnya, melalui mempelajari apa yang telah
dikembangkan oleh pelbagai institusi pendidikan dan pusat kewirausahaan yang
6
sudah lama mempunyai keahlian di bidang kewirausahaan sosial di luar Indonesia,
kita diharapkan untuk mampu memahami apa kemacetan yang terjadi di
Indonesia dan upaya pemecahan di tempat lain sebagai inspirasi. Perlukah lebih
banyak wirausaha sosial untuk merintisnya?
Meruntuhkan dan menciptakan sistem secara kreatif
Sebagaimana telah disebutkan di atas, tinggkah laku dan sikap kewirausahaan
yang istimewa adalah keberaniannya untuk mengubah dan menghadirkan hal
yang baru, dengan mengambil risiko yang telah diperhitungkan. Istilah yang dapat
digunakan tentang melakukan perubahan dengan menghadirkan hal yang baru
adalah berinovasi. Saat ini dikenali bahwa inovasi tidak hanya satu jenis.ix. Inovasi
dapat dilakukan dalam hal produk atau jasa, dan dapat pula dalam hal proses.
Inovasi tidak pula hanya bersifat radikal, tetapi juga berskala kecil, dan
berkesinambungan, yang sering disebut sebagai kaizen. Kaizen adalah metode
“penyempurnaan secara berkelanjutan” (kaizen continual improvement) yang
dikembangkan oleh perusahaan Jepang.x
Dari contoh kasus-kasus kewirausahaan sosial di atas, termasuk kasus yang disajikan
dalam film Lelakoné Menur, dapat kita temukan bermacam-macam kreativitas
individu yang dilanjutkan menjadi inovasi produk dan proses. Makin radikal gagasan
untuk menghadirkan inovasi, makin besar pula sumber daya yang diperlukan.
Hambatan yang harus dihadapi untuk suatu inovasi sosial yang radikal adalah
tembok birokrasi dan kenyamanan dari pelaku dalam sistem yang telah ‘mapan’
saat ini. Di negaranya, Bangladesh, Mohammad Yunus menghadapi sistem lintah
darat. Ia menghadirkan sistem perbankan baru bagi masyarakat miskin, khususnya
kaum perempuan. Sofyan Tan menhadapi pesimisme mereka yang terbiasa
mengenali adanya sekolah unggulan bagi masyararakat mampu, bukan
masyarakat miskin, sehingga ia mengalami banyak kesulitan dalam mendapatkan
sponsor. “Apakah mungkin ada sekolah berkualitas untuk orang miskin?”
Kasus kelompok tani wanita Menur juga menghadapi pelbagai hambatan, di
antaranya budaya tentang peran wanita sebagai isteri dan ibu rumah tangga.
Perubahan yang dilakukan oleh ibu-ibu Menur tergolong dalam inovasi yang
bersifat tidak sangat radikal, tetapi tetap tidaklah bebas dari risiko. Mereka harus
secara kreatif menciptakan sistem keseimbangan baru. Gagasan baru cara bertani
dan berorganisasi yang baik perlu dikomunikasikan ke suami agar dapat diterima.
Tembok yang harus diruntuhkan oleh wirausaha sosial dengan mengadakan inovasi
tidak sama tingginya. Hal ini mirip dengan apa yang dihadapi oleh wirausaha bisnis
yang ingin unggul dan harus menghadapi lingkungan dan sistem yang tidak selalu
ramah. Salah satu contoh menghadapi tembok yang tinggi adalah kasus Steve Job
yang ingin menghadirkan komputer pribadi (personal computer). Ia harus
berhadapan dengan perusahaan raksasa komputer pada masa itu. Besar kecilnya
inovasi dan risiko yang akan dihadapi merupakan bagian yang harus
diperhitungkan oleh semua wirausahawan.
7
i Penulis adalah Konsultan Pengembangan Kewirausahaan, kini berkarya di Prasetiya Mulya
Business School, Jakarta.
ii Peter Drucker, Innovation and Entrepreneurship: Practice and Principles. William Heinemann Ltd,
1985.
iii www3.babson.edu
iv Daniel Jennings, Multiple Perspectives of Entrepreneurship: Text, Readings, and Cases. South-
Western Publishishing Co, 1994.
v Jeffry Timmons and Stephen Spinelli. New Venture Creation, Entrepreneurship for the 21st Century.
7th ed., McGraw-Hill Education, International, 2007.
vi Lihat misalnya Philip Wickham. Strategic Entrepreneurship. 3rd ed., Pearson Education Limited,
2004.
vii Ibid hal 110.
viii C.K. Prahalad, The Fortune at The Bottom of the Pyramid. Wharton School Publishing, 2005.
ix Robin Lowe and Sue Marriot, Enterprise: Entrepreneurship and Innovation, Concepts, Contexts,
and Commercialization, Butterworth-Heinemann, 2006, hal 18 – 20 dan 65 – 84.
x Lihat penjelasan tentang kaizen continual improvement di website wikipedia.org.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar