Makalah
Pendidikan Multikultural
“Problema penyakit Budaya
Prasangka,stereotip,etnosentrisme,rasisme dan diskriminasi
OLEH
KELOMPOK 9
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Indonesia merupakan Negara yang memiliki keragaman multicultural yang
sangat luar biasa.Dari sabang sampai marauke terbentang berbagai perbedaan baik
itu mengenai suku,agama,ras dan sebagainya.Keragaman ini menjadi modal
sekaligus potensi konflik. Keragaman budaya daerah memang memperkaya khasanah
budaya dan menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia yang
multikultural. Namun kondisi neka budaya itu sangat berpotensi memecah belah
dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan sosial. Masalah itu muncul
jika tidak ada komunikasi antar budaya daerah. Tidak adanya komunikasi dan
pemahaman pada berbagai kelompok budaya lain ini justru dapat menjadi konflik.
Pendidikan multicultural sebagai istilah baru di Indonesia hadir guna untuk
meminimalisir konflik yang ada.meski,konflik sulit untuk hilang seketika di
negara yang sangat heterogen ini. Kesadaran akan pentingnya
kemajemukan mulai muncul seiring gagalnya upaya nasionalisme negara, yang
dikritik karena dianggap terlalu menekankan kesatuan daripada keragaman.
Kemajemukan dalam banyak hal – suku, agama, ras, golongan – yang seharusnya
menjadi hasanah dan modal untuk membangun seringkali dimanipulasi oleh penguasa
untuk mencapai kepentingan politiknya. Maka ketika kemudian konflik bergejolak
di daerah, negara seakan-akan menutupi realitas kemajemukan itu atas nama
“kesatuan bangsa” atau “stabilitas nasional”.
Konflik sosial yang sering muncul sebagai akibat pengingkaran terhadap
kenyataan kemajemukan dan penyebab adanya konflik sosial. Bertolak dari
kenyataan itu, kini dirasakan semakin perlunya kebijakan multikultural yang
memihak keragaman. Dari kebijakan itu nantinya diharapkan masyarakat dapat
mengelola perbedaan yang ada secara positif. Dengan demikian, perbedaan dalam
beragam area kehidupan tidak memicu prasangka atau konflik, tetapi sebaliknya
mendorong dinamika masyarakat ke arah lebih baik.
1.2
Rumusan Masalah
1. apa itu pendidikan
multikultural?
2. Bagaimanakah problema yang ada di masyarakat di Indonesia?
3. Apa yang dimaksud dengan Problem Penyakit Budaya: Prasangka, Stereotipe,Etnosentrisme, Rasisme, dan Diskriminasi,?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui
pengertian dari pendidikan multicultural.
2. Mengetahui
problema kemasyarakatan pendidikan multicultural Indonesia.
3. Mengetahui problem penyakit
budaya diantaranya prsangka, stereotip,etnosentrisme, rasisme, dan
diskriminasi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian pendidikan multicultural
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan dan
mengembangkanpotensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan,pengendalian diri,kepribadian,akhlak mulia dan keterampilanyang
diperlukan dirinya,masyarakat,bangsa dan Negara. Multikultural adalah berbagai macam status
social budaya meliputi latar belakang,tempat,agama,ras,suku dll.
Jadi pendidikan multicultural adalah usaha sadar untuk mengembangkan
kepribadian didalam dan diluar sekolah yang mempelajari tentang berbagai macam
status sosial,ras,suku,agama agar tercipta kepribadian yang cerdas dalam
menghadapi masalah-masalah keberagaman budaya.
2.2 Problema yang ada di masyarakat
Indonesia.
Indonesia merupakan bangsa yang mejemuk.Kemajemukannya itu bukan saja
menyebabkan keragaman yang punya nilai positif tapi juga sekaligus nilai
negatifnya.Dimana perbedaan terkadang dijadikan alas an untuk tidak menyatu
serta berbaur.Bentrok yang terjadi di beberapa daerah sering kali terjadi.Tidak
dapat dipungkiri penyebabnya adalah perbedaan ras,agama,suku dll.
Beberapa peristiwa budaya yang negatif dan sering muncul di tanah air
seperti peristiwa di Poso, Ambon, Papua, Sampit, Aceh, Bali, Jakarta, dan
lain-lain ini disebabkan oleh problema kemasyarakatan sebagai berikut:
1) Keragaman Identitas Budaya Daerah
Keragaman ini menjadi modal sekaligus potensi konflik. Keragaman budaya
daerah memang memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal yang berharga untuk
membangun Indonesia yang multikultural. Namun kondisi neka budaya itu sangat
berpotensi memecah belah dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan
sosial. Masalah itu muncul jika tidak ada komunikasi antar budaya daerah. Tidak
adanya komunikasi dan pemahaman pada berbagai kelompok budaya lain ini justru
dapat menjadi konflik. Sebab dari konflik-konflik yang terjadi selama ini di
Indonesia dilatar belakangi oleh adanya keragaman identitas etnis, agama dan
ras.
2. Kurang Kokohnya Nasionalisme
Keragaman budaya ini membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan
(“integrating force”) seluruh pluralitas negeri ini. Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa, kepribadian nasional dan ideologi negara merupakan
harga mati yang tidak bisa ditawar lagi dan berfungsi sebagai integrating
force. Saat ini Pancasila kurang mendapat perhatian dan kedudukan yang
semestinya sejak isu kedaerahan semakin semarak.
3. Fanatisme Sempit
Fanatisme dalam arti luas memang diperlukan. Namun yang salah adalah fanatisme
sempit, yang menganggap menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling benar,
paling baik dan kelompok lain harus dimusuhi. Gejala fanatisme sempit yang
banyak menimbulkan korban ini banyak terjadi di tanah air ini. Gejala Bonek
(bondo nekat) di kalangan suporter sepak bola nampak menggejala di tanah air.
Kecintaan pada klub sepak bola daerah memang baik, tetapi kecintaan yang
berlebihan terhadap kelompoknya dan memusuhi kelompok lain secara membabi buta
maka hal ini justru tidak sehat.
Terjadi pelemparan terhadap pemain lawan dan pengrusakan mobil dan
benda-benda yang ada di sekitar stadion ketika tim kesayangannya kalah
menunjukkan gejala ini.
Kecintaan dan kebanggaan
pada korps memang baik dan sangat diperlukan. Namun kecintaan dan kebanggaan
itu bila ditunjukkan dengan bersikap memusuhi kelompok lain dan berperilaku
menyerang kelompok lain maka fanatisme sempit ini menjadi hal yang destruktif.
4. Kesejahteraan Ekonomi yang
Tidak Merata di antara Kelompok Budaya
Kejadian yang nampak bernuansa SARA seperti Sampit beberapa waktu yang
lalu setelah diselidiki ternyata berangkat dari kecemburuan sosial yang melihat
warga pendatang memiliki kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik dari warga
asli. Jadi beberapa peristiwa di tanah air yang bernuansa konflik budaya
ternyata dipicu oleh persoalan kesejahteraan ekonomi.
Keterlibatan orang dalam demonstrasi yang marak terjadi di tanah air ini,
apapun kejadian dan tema demonstrasi, seringkali terjadi karena orang mengalami
tekanan hebat di bidang ekonomi. Bahkan ada yang demi selembar kertas duapuluh
ribu orang akan ikut terlibat dalam demonstrasi yang dia sendiri tidak
mengetahui maksudnya. Sudah banyak kejadian yang terungkap di media massa
mengenai hal ini.
Orang akan dengan mudah terintimidasi untuk melakukan tindakan yang
anarkhis ketika himpitan ekonomi yang mendera mereka. Mereka akan menumpah
kekesalan mereka pada kelompok-kelompok mapan dan dianggap menikmati kekayaan
yang dia tidak mampu meraihnya.
5. Konflik Kesatuan Nasional
dan Multikultural
Ada tarik menarik antara kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan
multikultural. Di satu sisi ingin mempertahankan kesatuan bangsa dengan
berorientasi pada stabilitas nasional. Namun dalam penerapannya, kita pernah
mengalami konsep stabilitas nasional ini dimanipulasi untuk mencapai
kepentingan-kepentingan politik tertentu. Adanya Gerakan Aceh Merdeka di Aceh
dapat menjadi contoh ketika kebijakan penjagaan stabilitas nasional ini berubah
menjadi tekanan dan pengerah kekuatan bersenjata. Hal ini justru menimbulkan
perasaan anti pati terhadap kekuasaan pusat yang tentunya hal ini bisa menjadi
ancaman bagi integrasi bangsa. Untunglah perbedaan pendapat ini dapat
diselesaikan dengan damai dan beradab.
2.3 Problema Penyakit Budaya
1. Prasangka
Definisi klasik prasangka pertama kali dikemukakan oleh psikolog dari
Universitas Harvard, Gordon Allport yang menulis konsep itu dalam bukunya, The
Nature of Predujice pada tahun 1954. Istilah berasal dari praejudicium, yakni
pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau pengalaman
yang dangkal terhada orang atau kelompok tertentu.
Menurut Allport, “prasangka adalah antipati berdasarkan generalisasi yang
salah atau tidak luwes. Antipati itu dirasakan atau dinyatakan. Allpot memang
sangat menekankan antipati bukan sekedar pribadi tetapi antipati kelompok.
Johnson (1986) mengatakan prasangka adalah sikap positif atau negatif
berdasarkan keyakinan stereotipe kita tentang anggota dari kelompok tertentu.
Prasangka meliputi keyakinan untuk menggambarkan jenis pembedaan terhadap orang
lain sesuai dengan peringkat nilai yang kita berikan.
Menurut johnson (1981) prasangka adalah sikap intipati berlandaskan pada
cara menggeneralisasi yang salah dan tidak fleksibel. Prasangka merupakan sikap
negatif yang diarahkan kepada seseorang atas dasar perbandingan dengan
kelompoknya sendiri. Jadi prasangka merupakan salah satu rintangan atau
hambatan bagi kegiatan komunikasi karena orang yan berprasangka sudah bersikap
curiga dan menentang komunikator yang melancarkan komunikasi.
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas maka dapat kita
simpulkan bahwa prasang merupak sikap, pengertian, keyakinan dan bukan
tindakan. Jadi prasangka tetap ada dipikiran, sedangka diskriminasi mengarah ke
tindakan sistematis. Kalau prasangka berubah menjadi tindankan nyata maka
pasangka berubah menjadi diskriminasi yaitu tindakan menyingkirkan status dan
peranan seseorang dari hubungan, pergaulan, dan komunikasi antar manusia.
Secara umum kita dapat melihat prasangka mengandung tipe afektif (berkaitan
dengan perasaan negatif), koognitif (selalu berpkir sesuatu stereotipe), dan
konasi (kecenderungan berperilaku diskriminatif).
Prasangka didasarkan atas sebab-sebab seperti :
- Generalisasi yang keliru pada perasaan
- Stereotipe antaretnik
- Kesadaran “in group” dan “out group” yaitu kesadaran akan ras “mereka”
sebagai kelompok lain yang berbeda latar belakang kebudayaan dengan “ kami”.
2. Stareotipe
Stereotipe merupakan salah satu bentuk utama prasangka yang menunjukan
perbedaan “kami” yang selalu dikaitkan dengan superioritas kelompok “kami” dan
cenderung mengevaluasi orang lain yng dipandang inferior “mereka”. Stereotipe
adalah pemberian sifat tertentu terhadap sesorang berdasarkan kategori yang
bersifat subjektif hanya karena dia berasal dari kelompok lain. Pemberian sifat
tersebut bisa positif maupun negatif.
Vedeber (1986) menyatakan bahwa stereotipe adalah sikap juga karakter
yang dimiliki sesorang dalam menilai karakteristik, sifat negatif, maupun
positif orang lain, hanya berdasarkan keanggotaan orang itu pada kelompok
tertentu.
Allan G. Johson (1986) stereotipe adalah keyakinan sesorang dalam
menggeneralisasikan sifat-sifat tertentuyang cenderung negatif tentang orang
lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman tertentu. Keyakinan ini
menimbukan penilaian yang cenderung negatif bahkan merendahkan orang lain. Ada
kecenderungan memberikan “label” atau cap tertetu pada kelompok tertentu dan
yang termasuk problem yang perlu diatasi adalah stereotipe yang negatif atau
merendahkan kelompok lain.
Di dalam menghadapi fenomena budaya yang ada di tanah air ini, kita perlu
memberi informasi yang benar tentang berbagi hal yang berkaitan dengan ras,
suku, agama, dan antar agama. Seringkali, keberadaan individu dalam suatu
kelompok telah dikategorisasi. Miles Hewstone dan Rupert Brown (1986)
mengemukakan tiga aspek esensial dari stereotipe yaitu :
1. Karakter atau sifat tertentu yang berkaitan dengan perilaku, kebiasaan
berperilaku, gender dan etnis. Misalnya, wanita periang itu suka bersolek.
2. Bentuk atau sifat perilaku turun menurun sehingga seolah-olah melekat
pada semua anggota kelompok. Misalnya, oran ambon itu keras.
3. Penggeneralisasian karakteristik, ciri khas, kebiasaan, perilaku
kelompik kepada individu yang menjadi anggota kelompok tersebut.
Tajfel (1981) membedakan bentuk atau jenis stereotipe yaitu :
1. Stereotipe individu adalah generalisasi yang dilakukan oleh individu
dengan menggeneralisasi karakteristik orang lain dengan ukurang luas dan jarak
tertentu melalui proses kategori yang bersifat kognitif (berdasarkan penglaman
individu).
2. Stereotipe sosial terjadi jika stereotipe itu menjadi evaluasi
kelompok tertentu, telah menyebar dan meluas pada kelompok sosial lain.
Stereotipe itu bersifat unik dan berdasarkan pengalaman individu, namun
kadang merupakan hasil pengalam dan pergaulan dengan orang lain maupun dengan
anggota kelompok itu sendiri. Adakah hubungan antara stereotipe dengan
komunikasi
Hewstone dan Giles (1986) mengajukan empat kesimpulan tentang proses
stereotipe :
1. Proses stereotipe merupakan hasil dari kecenderungan mengantisipasi
atau mengharapkan kualitas derajat hubungan tertentu antara anggota kelompok
tentu berdasarkan sifat psikologis yang dimliki.
2. Sumber dan sasaran informasi mempengaruhi proses informasi yang
diterima atau yang hendak dikirimkan. Stereotipe berpengaruh terhadap porses
informasi individu.
3. Stereotipe menciptakan harapan pada anggota kelompok tertentu (in
group) dan kelompok lain (out group).
4. Stereotipe menghambat pola perilaku komunikasi kita dengan orang lain.
3. Etnosentrisme
Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk menetapkan semua norma dan nilai
budaya orang lain dengan standar budayanya sendiri. Etnosentrisme merupakan
paham-paham yang pertama kali diperkenalkan oleh William Graham Sumner (1906),
seorang antropolog yang beraliran interaksionisme. Berpandangna bahwa manusia
pada dasarnya individualistis yag cenderung mementingkan diri sendiri, namun
karena harus berhubungan dengan manusia lain, maka terbentuklah sifat
antagonistik. Supaya pertentangan itu dapat dicegah maka perlu ada folkways
(adat kebiasaan) yang bersumber pada pola-pola tertentu. Mereka yang memiliki
folkways yang sama cenderung berkelompok dalam satu kelompok yang disebut
etnis.
4. Rasisme
Kata ras berasal dari bahasa prancis dan itali “razza” pertama kali
istilah ras dikenalkan Franqois Bernier, antropolog perancis, untuk
mengemukakan gagasan tentang perbedaa manusia berdasarkan kategori atau
karakteristik warna kulit dan bentuk wajah. Setelah itu, orang lalu menetapkan
hirarki manusia berdasarkan karakteristik fisik atas orang eropa berkulit putih
yang diasumsikan sebagai warga masyarakat kelas atas berlawanan dengan orang
afrika yang berkulit hitam sebagai warga kelas dua.
Ras sebagai konsep secara ilmiah digunakan bagi “penggolongan manusia”
oleh Bufon, anthorpolog perancis, untuk menerangkan penduduk berdasarkan
pembedaan biologis sebagai parameter. Pada abad 19, para ahli biologis membuat
klasifikasi ras atas tiga kelompok, yaitu kaukasoid, negroid dan mongoloid.
Hasil penilitian menunjukan bahawa tidak ada ras yang benar-benar murni lagi.
Secara biologis, konsep ras selalu dikaitkan dengan pemberian karakteristik
seseorang atau sekelompok orang ke dalam satu kelompok tertentu yang secara
genetik memiliki kesamaan fisik seperti warna kulit, mata, rambut, hidung, atau
potongan wajah. Pembedaan seperti itu hanya mewakili faktor tampilan luar.
Karena tidak ada ras yang benar-benar murni, maka konsep tentang ras
seringkali merupakan kategori yang bersifat non- biologis. Ras hanya merupakan
konstruksi ideologi yang menggambarkan gagasan rasis. Secara kultur. Carus
menghubungkan ciri ras dengan kondisi kultur. Ada empat jenis ras yaitu :
afrika, mongol, dan amerika yang berturut-turut mencerminkan sian hari
(terang), malam hari (gelap), cerah pagi (kuning), dan sore (senja) yang
merah.Namun konsep ras yang kita kenal lebih mengarah pada konsep kultur dan
merupakan kategori sosial, bukan biologis. Montagu, membedakan antara “ide
sosial dari ras” dan “ide biologis dari ras”. Definisi sosial berkaitan dengan
fisik dan perilaku sosial.
5. Diskriminasi
Jika prasangka mencakup sikap dan keyakinan, maka diskriminasi mengarah
pada tindakan. Tindakan diskriminasi biasanya dilakukan oleh orang yang
memiliki prasangka kuat akibat tekanan tertentu, misalnya tekanan budaya, adat
istiadat, kebiasaan atau hukum. Antara prasangka dan diskriminasi ada hubungan
yang saling menguatkan, selama ada prasangka, disana ada diskriminasi. Jika
prasangka dipandang sebagai keyakinan atau ideologi, maka diskriminasi adalah
terapan keyakinan atau ideologi. Jadi diskriminasi merupakan tindakan yang
membeda-bedakan dan kurang bersahabat dari kelompok dominan terhadap kelompok
subordinasi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
pendidikan multicultural adalah usaha sadar untuk mengembangkan
kepribadian didalam dan diluar sekolah yang mempelajari tentang berbagai macam
status sosial,ras,suku,agama agar tercipta kepribadian yang cerdas dalam
menghadapi masalah-masalah keberagaman budaya.
Problema yang ada di masyarakat Indonesia adalah sebagai berikut: Keragaman Identitas Budaya Daerah, Kurang Kokohnya Nasionalisme, Kesejahteraan Ekonomi yang
Tidak Merata di antara Kelompok Budaya ,Fanatisme Sempit , Konflik Kesatuan Nasional
dan Multikultural.
Adapun problema penyakit budaya yang terjadi di Indonesia diantaranya adalah
prasangka,stereotip, rasisme,etnosentrisme,dan
diskriminasi.
3.2 Saran
Penulis menyadari makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan maka dari itu
kritik dan saran masih sangat diperlukan guna membangun pengetahuan yang lebih
matang.
DAFTAR PUSTAKA
Yudi Hartono, Dardi Hasyim, 2003. Pendidikan Multikultural di Sekolah.Surakarta:
UPT penerbitan dan percetakan UNS.
James Banks. 1993. Multicultural Education: Historical Development,
Dimension, and Practice,USA: Review of Research in Education.
Mashadi ,Imron, 2009. Pendidikan Agama Islam Dalam Persepektif Multikulturalisme.
Jakarta :Balai Litbang Agama
Perlu adanya tambahan pendidikan lulagalo...!!!
BalasHapusapa itu lulagalo?
BalasHapus