Sabtu, 16 Februari 2013

Makalah pendidikan multikultural


Makalah
Pendidikan Multikultural
“Problema penyakit Budaya Prasangka,stereotip,etnosentrisme,rasisme dan diskriminasi







OLEH
KELOMPOK 9




FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO


BAB I
PENDAHULUAN
1.1          Latar belakang
                Indonesia merupakan Negara yang memiliki keragaman  multicultural yang sangat luar biasa.Dari sabang sampai marauke terbentang berbagai perbedaan baik itu mengenai suku,agama,ras dan sebagainya.Keragaman ini menjadi modal sekaligus potensi konflik. Keragaman budaya daerah memang memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia yang multikultural. Namun kondisi neka budaya itu sangat berpotensi memecah belah dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan sosial. Masalah itu muncul jika tidak ada komunikasi antar budaya daerah. Tidak adanya komunikasi dan pemahaman pada berbagai kelompok budaya lain ini justru dapat menjadi konflik.
                Pendidikan multicultural sebagai istilah baru di Indonesia hadir guna untuk meminimalisir konflik yang ada.meski,konflik sulit untuk hilang seketika di negara yang sangat heterogen ini. Kesadaran akan pentingnya kemajemukan mulai muncul seiring gagalnya upaya nasionalisme negara, yang dikritik karena dianggap terlalu menekankan kesatuan daripada keragaman. Kemajemukan dalam banyak hal – suku, agama, ras, golongan – yang seharusnya menjadi hasanah dan modal untuk membangun seringkali dimanipulasi oleh penguasa untuk mencapai kepentingan politiknya. Maka ketika kemudian konflik bergejolak di daerah, negara seakan-akan menutupi realitas kemajemukan itu atas nama “kesatuan bangsa” atau “stabilitas nasional”.
                Konflik sosial yang sering muncul sebagai akibat pengingkaran terhadap kenyataan kemajemukan dan penyebab adanya konflik sosial.  Bertolak dari kenyataan itu, kini dirasakan semakin perlunya kebijakan multikultural yang memihak keragaman. Dari kebijakan itu nantinya diharapkan masyarakat dapat mengelola perbedaan yang ada secara positif. Dengan demikian, perbedaan dalam beragam area kehidupan tidak memicu prasangka atau konflik, tetapi sebaliknya mendorong dinamika masyarakat ke arah lebih baik.


1.2          Rumusan Masalah
1. apa itu  pendidikan multikultural?
2. Bagaimanakah problema yang ada di masyarakat di Indonesia?
3. Apa yang dimaksud dengan Problem Penyakit Budaya: Prasangka, Stereotipe,Etnosentrisme,   Rasisme, dan Diskriminasi,?

1.3  Tujuan
      1. Mengetahui pengertian dari pendidikan multicultural.
      2. Mengetahui problema kemasyarakatan pendidikan multicultural Indonesia.
   3. Mengetahui problem penyakit budaya diantaranya prsangka, stereotip,etnosentrisme, rasisme,  dan diskriminasi.

                       
               


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian pendidikan multicultural
                Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan dan mengembangkanpotensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,pengendalian diri,kepribadian,akhlak mulia dan keterampilanyang diperlukan dirinya,masyarakat,bangsa dan Negara. Multikultural adalah berbagai macam status social budaya meliputi latar belakang,tempat,agama,ras,suku dll.
                Jadi pendidikan multicultural adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian didalam dan diluar sekolah yang mempelajari tentang berbagai macam status sosial,ras,suku,agama agar tercipta kepribadian yang cerdas dalam menghadapi masalah-masalah keberagaman budaya.
2.2  Problema yang ada di masyarakat Indonesia.
                Indonesia merupakan bangsa yang mejemuk.Kemajemukannya itu bukan saja menyebabkan keragaman yang punya nilai positif tapi juga sekaligus nilai negatifnya.Dimana perbedaan terkadang dijadikan alas an untuk tidak menyatu serta berbaur.Bentrok yang terjadi di beberapa daerah sering kali terjadi.Tidak dapat dipungkiri penyebabnya adalah perbedaan ras,agama,suku dll.
                Beberapa peristiwa budaya yang negatif dan sering muncul di tanah air seperti peristiwa di Poso, Ambon, Papua, Sampit, Aceh, Bali, Jakarta, dan lain-lain ini disebabkan oleh problema kemasyarakatan sebagai berikut:

1) Keragaman Identitas Budaya Daerah
                Keragaman ini menjadi modal sekaligus potensi konflik. Keragaman budaya daerah memang memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia yang multikultural. Namun kondisi neka budaya itu sangat berpotensi memecah belah dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan sosial. Masalah itu muncul jika tidak ada komunikasi antar budaya daerah. Tidak adanya komunikasi dan pemahaman pada berbagai kelompok budaya lain ini justru dapat menjadi konflik. Sebab dari konflik-konflik yang terjadi selama ini di Indonesia dilatar belakangi oleh adanya keragaman identitas etnis, agama dan ras.

2.  Kurang Kokohnya Nasionalisme
        Keragaman budaya ini membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan (“integrating force”) seluruh pluralitas negeri ini. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kepribadian nasional dan ideologi negara merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi dan berfungsi sebagai integrating force. Saat ini Pancasila kurang mendapat perhatian dan kedudukan yang semestinya sejak isu kedaerahan semakin semarak.

3. Fanatisme Sempit

                Fanatisme dalam arti luas memang diperlukan. Namun yang salah adalah fanatisme sempit, yang menganggap menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling benar, paling baik dan kelompok lain harus dimusuhi. Gejala fanatisme sempit yang banyak menimbulkan korban ini banyak terjadi di tanah air ini. Gejala Bonek (bondo nekat) di kalangan suporter sepak bola nampak menggejala di tanah air. Kecintaan pada klub sepak bola daerah memang baik, tetapi kecintaan yang berlebihan terhadap kelompoknya dan memusuhi kelompok lain secara membabi buta maka hal ini justru tidak sehat.
            Terjadi pelemparan terhadap pemain lawan dan pengrusakan mobil dan benda-benda yang ada di sekitar stadion ketika tim kesayangannya kalah menunjukkan gejala ini.
  Kecintaan dan kebanggaan pada korps memang baik dan sangat diperlukan. Namun kecintaan dan  kebanggaan itu bila ditunjukkan dengan bersikap memusuhi kelompok lain dan berperilaku menyerang kelompok lain maka fanatisme sempit ini menjadi hal yang destruktif.

4.  Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata di antara Kelompok Budaya

        Kejadian yang nampak bernuansa SARA seperti Sampit beberapa waktu yang lalu setelah diselidiki ternyata berangkat dari kecemburuan sosial yang melihat warga pendatang memiliki kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik dari warga asli. Jadi beberapa peristiwa di tanah air yang bernuansa konflik budaya ternyata dipicu oleh persoalan kesejahteraan ekonomi.
Keterlibatan orang dalam demonstrasi yang marak terjadi di tanah air ini, apapun kejadian dan tema demonstrasi, seringkali terjadi karena orang mengalami tekanan hebat di bidang ekonomi. Bahkan ada yang demi selembar kertas duapuluh ribu orang akan ikut terlibat dalam demonstrasi yang dia sendiri tidak mengetahui maksudnya. Sudah banyak kejadian yang terungkap di media massa mengenai hal ini.
Orang akan dengan mudah terintimidasi untuk melakukan tindakan yang anarkhis ketika himpitan ekonomi yang mendera mereka. Mereka akan menumpah kekesalan mereka pada kelompok-kelompok mapan dan dianggap menikmati kekayaan yang dia tidak mampu meraihnya.

5.   Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural

              Ada tarik menarik antara kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan  multikultural. Di satu sisi ingin mempertahankan kesatuan bangsa dengan berorientasi pada stabilitas nasional. Namun dalam penerapannya, kita pernah mengalami konsep stabilitas nasional ini dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik tertentu. Adanya Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dapat menjadi contoh ketika kebijakan penjagaan stabilitas nasional ini berubah menjadi tekanan dan pengerah kekuatan bersenjata. Hal ini justru menimbulkan perasaan anti pati terhadap kekuasaan pusat yang tentunya hal ini bisa menjadi ancaman bagi integrasi bangsa. Untunglah perbedaan pendapat ini dapat diselesaikan dengan damai dan beradab.

2.3  Problema Penyakit Budaya
1. Prasangka
                Definisi klasik prasangka pertama kali dikemukakan oleh psikolog dari Universitas Harvard, Gordon Allport yang menulis konsep itu dalam bukunya, The Nature of Predujice pada tahun 1954. Istilah berasal dari praejudicium, yakni pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau pengalaman yang dangkal terhada orang atau kelompok tertentu.
                Menurut Allport, “prasangka adalah antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau tidak luwes. Antipati itu dirasakan atau dinyatakan. Allpot memang sangat menekankan antipati bukan sekedar pribadi tetapi antipati kelompok.
                Johnson (1986) mengatakan prasangka adalah sikap positif atau negatif berdasarkan keyakinan stereotipe kita tentang anggota dari kelompok tertentu. Prasangka meliputi keyakinan untuk menggambarkan jenis pembedaan terhadap orang lain sesuai dengan peringkat nilai yang kita berikan.
                Menurut johnson (1981) prasangka adalah sikap intipati berlandaskan pada cara menggeneralisasi yang salah dan tidak fleksibel. Prasangka merupakan sikap negatif yang diarahkan kepada seseorang atas dasar perbandingan dengan kelompoknya sendiri. Jadi prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan bagi kegiatan komunikasi karena orang yan berprasangka sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang melancarkan komunikasi.
                Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas maka dapat kita simpulkan bahwa prasang merupak sikap, pengertian, keyakinan dan bukan tindakan. Jadi prasangka tetap ada dipikiran, sedangka diskriminasi mengarah ke tindakan sistematis. Kalau prasangka berubah menjadi tindankan nyata maka pasangka berubah menjadi diskriminasi yaitu tindakan menyingkirkan status dan peranan seseorang dari hubungan, pergaulan, dan komunikasi antar manusia. Secara umum kita dapat melihat prasangka mengandung tipe afektif (berkaitan dengan perasaan negatif), koognitif (selalu berpkir sesuatu stereotipe), dan konasi (kecenderungan berperilaku diskriminatif).

Prasangka didasarkan atas sebab-sebab seperti :
- Generalisasi yang keliru pada perasaan
- Stereotipe antaretnik
- Kesadaran “in group” dan “out group” yaitu kesadaran akan ras “mereka” sebagai kelompok lain yang berbeda latar belakang kebudayaan dengan “ kami”.

2. Stareotipe

                Stereotipe merupakan salah satu bentuk utama prasangka yang menunjukan perbedaan “kami” yang selalu dikaitkan dengan superioritas kelompok “kami” dan cenderung mengevaluasi orang lain yng dipandang inferior “mereka”. Stereotipe adalah pemberian sifat tertentu terhadap sesorang berdasarkan kategori yang bersifat subjektif hanya karena dia berasal dari kelompok lain. Pemberian sifat tersebut bisa positif maupun negatif.

                Vedeber (1986) menyatakan bahwa stereotipe adalah sikap juga karakter yang dimiliki sesorang dalam menilai karakteristik, sifat negatif, maupun positif orang lain, hanya berdasarkan keanggotaan orang itu pada kelompok tertentu.
                Allan G. Johson (1986) stereotipe adalah keyakinan sesorang dalam menggeneralisasikan sifat-sifat tertentuyang cenderung negatif tentang orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman tertentu. Keyakinan ini menimbukan penilaian yang cenderung negatif bahkan merendahkan orang lain. Ada kecenderungan memberikan “label” atau cap tertetu pada kelompok tertentu dan yang termasuk problem yang perlu diatasi adalah stereotipe yang negatif atau merendahkan kelompok lain.
                Di dalam menghadapi fenomena budaya yang ada di tanah air ini, kita perlu memberi informasi yang benar tentang berbagi hal yang berkaitan dengan ras, suku, agama, dan antar agama. Seringkali, keberadaan individu dalam suatu kelompok telah dikategorisasi. Miles Hewstone dan Rupert Brown (1986) mengemukakan tiga aspek esensial dari stereotipe yaitu :

1. Karakter atau sifat tertentu yang berkaitan dengan perilaku, kebiasaan berperilaku, gender dan etnis. Misalnya, wanita periang itu suka bersolek.
2. Bentuk atau sifat perilaku turun menurun sehingga seolah-olah melekat pada semua anggota kelompok. Misalnya, oran ambon itu keras.
3. Penggeneralisasian karakteristik, ciri khas, kebiasaan, perilaku kelompik kepada individu yang menjadi anggota kelompok tersebut.

Tajfel (1981) membedakan bentuk atau jenis stereotipe yaitu :
1. Stereotipe individu adalah generalisasi yang dilakukan oleh individu dengan menggeneralisasi karakteristik orang lain dengan ukurang luas dan jarak tertentu melalui proses kategori yang bersifat kognitif (berdasarkan penglaman individu).
2. Stereotipe sosial terjadi jika stereotipe itu menjadi evaluasi kelompok tertentu, telah menyebar dan meluas pada kelompok sosial lain.

Stereotipe itu bersifat unik dan berdasarkan pengalaman individu, namun kadang merupakan hasil pengalam dan pergaulan dengan orang lain maupun dengan anggota kelompok itu sendiri. Adakah hubungan antara stereotipe dengan komunikasi
Hewstone dan Giles (1986) mengajukan empat kesimpulan tentang proses stereotipe :
1. Proses stereotipe merupakan hasil dari kecenderungan mengantisipasi atau mengharapkan kualitas derajat hubungan tertentu antara anggota kelompok tentu berdasarkan sifat psikologis yang dimliki.
2. Sumber dan sasaran informasi mempengaruhi proses informasi yang diterima atau yang hendak dikirimkan. Stereotipe berpengaruh terhadap porses informasi individu.
3. Stereotipe menciptakan harapan pada anggota kelompok tertentu (in group) dan kelompok lain (out group).
4. Stereotipe menghambat pola perilaku komunikasi kita dengan orang lain.
3. Etnosentrisme

                Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk menetapkan semua norma dan nilai budaya orang lain dengan standar budayanya sendiri. Etnosentrisme merupakan paham-paham yang pertama kali diperkenalkan oleh William Graham Sumner (1906), seorang antropolog yang beraliran interaksionisme. Berpandangna bahwa manusia pada dasarnya individualistis yag cenderung mementingkan diri sendiri, namun karena harus berhubungan dengan manusia lain, maka terbentuklah sifat antagonistik. Supaya pertentangan itu dapat dicegah maka perlu ada folkways (adat kebiasaan) yang bersumber pada pola-pola tertentu. Mereka yang memiliki folkways yang sama cenderung berkelompok dalam satu kelompok yang disebut etnis.

4. Rasisme

                Kata ras berasal dari bahasa prancis dan itali “razza” pertama kali istilah ras dikenalkan Franqois Bernier, antropolog perancis, untuk mengemukakan gagasan tentang perbedaa manusia berdasarkan kategori atau karakteristik warna kulit dan bentuk wajah. Setelah itu, orang lalu menetapkan hirarki manusia berdasarkan karakteristik fisik atas orang eropa berkulit putih yang diasumsikan sebagai warga masyarakat kelas atas berlawanan dengan orang afrika yang berkulit hitam sebagai warga kelas dua.
                Ras sebagai konsep secara ilmiah digunakan bagi “penggolongan manusia” oleh Bufon, anthorpolog perancis, untuk menerangkan penduduk berdasarkan pembedaan biologis sebagai parameter. Pada abad 19, para ahli biologis membuat klasifikasi ras atas tiga kelompok, yaitu kaukasoid, negroid dan mongoloid. Hasil penilitian menunjukan bahawa tidak ada ras yang benar-benar murni lagi. Secara biologis, konsep ras selalu dikaitkan dengan pemberian karakteristik seseorang atau sekelompok orang ke dalam satu kelompok tertentu yang secara genetik memiliki kesamaan fisik seperti warna kulit, mata, rambut, hidung, atau potongan wajah. Pembedaan seperti itu hanya mewakili faktor tampilan luar.
                Karena tidak ada ras yang benar-benar murni, maka konsep tentang ras seringkali merupakan kategori yang bersifat non- biologis. Ras hanya merupakan konstruksi ideologi yang menggambarkan gagasan rasis. Secara kultur. Carus menghubungkan ciri ras dengan kondisi kultur. Ada empat jenis ras yaitu : afrika, mongol, dan amerika yang berturut-turut mencerminkan sian hari (terang), malam hari (gelap), cerah pagi (kuning), dan sore (senja) yang merah.Namun konsep ras yang kita kenal lebih mengarah pada konsep kultur dan merupakan kategori sosial, bukan biologis. Montagu, membedakan antara “ide sosial dari ras” dan “ide biologis dari ras”. Definisi sosial berkaitan dengan fisik dan perilaku sosial.

5. Diskriminasi
               
                Jika prasangka mencakup sikap dan keyakinan, maka diskriminasi mengarah pada tindakan. Tindakan diskriminasi biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki prasangka kuat akibat tekanan tertentu, misalnya tekanan budaya, adat istiadat, kebiasaan atau hukum. Antara prasangka dan diskriminasi ada hubungan yang saling menguatkan, selama ada prasangka, disana ada diskriminasi. Jika prasangka dipandang sebagai keyakinan atau ideologi, maka diskriminasi adalah terapan keyakinan atau ideologi. Jadi diskriminasi merupakan tindakan yang membeda-bedakan dan kurang bersahabat dari kelompok dominan terhadap kelompok subordinasi.








BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
                pendidikan multicultural adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian didalam dan diluar sekolah yang mempelajari tentang berbagai macam status sosial,ras,suku,agama agar tercipta kepribadian yang cerdas dalam menghadapi masalah-masalah keberagaman budaya.
                Problema yang ada di masyarakat Indonesia adalah sebagai berikut: Keragaman Identitas Budaya Daerah, Kurang Kokohnya Nasionalisme, Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata di antara Kelompok Budaya ,Fanatisme Sempit , Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural.
                Adapun problema penyakit budaya yang terjadi di Indonesia diantaranya adalah prasangka,stereotip, rasisme,etnosentrisme,dan diskriminasi.      
               
3.2 Saran
                Penulis menyadari makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan maka dari itu kritik dan saran masih sangat diperlukan guna membangun pengetahuan yang lebih matang. 



DAFTAR PUSTAKA
Yudi Hartono, Dardi Hasyim, 2003. Pendidikan Multikultural di Sekolah.Surakarta: UPT penerbitan dan percetakan UNS.
James Banks. 1993. Multicultural Education: Historical Development, Dimension, and Practice,USA: Review of Research in Education.
Mashadi ,Imron, 2009. Pendidikan Agama Islam Dalam Persepektif Multikulturalisme. Jakarta :Balai Litbang Agama


2 komentar: